PAPER
KEPERAWATAN ANAK
PEMERIKSAAN
DAN PERKEMBANGAN ANAK ( KTSP DAN MBPS ), SERTA TOILETING TRAINING PADA ANAK
DISUSUN
:
1.
Endah
Susiawaty ( 15014 )
AKADEMI
KEPERAWATAN HARUM JAKARTA
2017
A.
Pemeriksaan
Perkembangan Anak ( KTSP dan MBTS )
1. Manajemen
terpadu balita sakit
Suatu manejemen untuk balita yang
datang di pelayanan kesehatan,dilaksanakan secara terpadu mengenai
klasifikasi,status gizi,status imun maupun penanganan dan konseling yang
diberikan.
MTBS merupakan suatu program
pemerintah untuk menurunkan angka kematian balita dan menurunkan angka
kesakitan.
2. Tujuan MTBS
a.
Meningkatkan keterampilan petugas
b.
Menilai,mangklasifikasi dan mengetahui resiko dari
penyakit yang timbul
c.
Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam
perawatan dirumah
d.
Sebagai pedoman kerja bagi petugas dalam pelayanan
balita sakit
e. Memperbaiki
sistem kesehatan
3. Protab
pelayanan MTBS
a.
Anamnesa : wawancara terhadap orang tua bayi dan
balita mengenai keluhan utama,lamanya sakit,pengobatan yang telah diberikan dan
riwayat penyakit lainnya.
b.
Pemeriksaan
:
1)
Untuk bayi umur 1hari-2 bulan
Periksa kemungkinan kejang,gangguan
nafas,suhu tubuh,adanya infeksi,ikterus,gangguan pencernaan,BB,status imun.
2)
Untuk bayi 2bulan-5 tahun
Keadaan umum,respirasi,derajat
dehidrasi,suhu,periksa telinga,status gizi,imun,penialaian pemberian makanan.
4. Konseling
MTBS
Merupakan
suatu bantuan yang diberikan oleh konselor kepada klien sebagai upaya membantu
orang lain agar ia mampu memecahkan masalah yang dihadapi.
Konseling
Bagi Ibu
Bertujuan
agar ibu mengetahui dan dapat menilai keadaan anak secara dini.
penilaian
berupa :
a. Menilai cara
pemberian makan anak:
Langkah yang
dilakukan tenaga kesehatan,tanyakan kepada ibu cara pemberian makanan anak
sehari-hari dan selama sakit.bandingkan jawaban ibu dengan anjuran pemberian
makan yang sesuai umur anak.
5. Tahapan dan Prosedur Pelaksanaan MTBS pada Balita
a.
Menilai dan membuat klasifikasi penyakit
Menilai dan membuat klasifikasi penyakit anak umur 2 bulan sampai 5 tahun. Tindakan ini dilakukan dengan cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sedangkan pengklasifikasian delakukan dengan membuat sebuah keputusan mengenai kemungkinan penyakit atau masalah serta tingkat keparahannya.
Menilai dan membuat klasifikasi penyakit anak umur 2 bulan sampai 5 tahun. Tindakan ini dilakukan dengan cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sedangkan pengklasifikasian delakukan dengan membuat sebuah keputusan mengenai kemungkinan penyakit atau masalah serta tingkat keparahannya.
Menilai
dan membuat klasifikasi penyakit dilakukan dengan beberapa kegiatan, antara
dengan memeriksa tanda bahaya umum, merupakan tanda penyakit yang serius.
Tanda bahaya umum dapat terjadi pada penyakit apapun dan tidak dapat membantu
menentukan jenis penyakit secara spesifik. Hanya dengan satu tanda bahaya umum
saja, sudah cukup untuk menunjukkan bahwa penyakit itu berat, sehingga sebelum
melakukan penilaian setiap penyakit, penting memeriksa beberapa
tanda bahaya umum seperti Tidak bisa minum atau menetek, Muntahkan semuanya,
Kejang, serta Letargis atau tidak sadar
b.
Menanyakan keluhan utama
Beberapa jenis pertanyaan yang penting untuk diajukan terkait dengan Menilai batuk atau sukar bernapas dan klasifikasinya, menilai diare dan klasifikasinya, menilai demam dan klasifikasinya, serta menilai masalah telinga dan klasifikasinya.
Beberapa jenis pertanyaan yang penting untuk diajukan terkait dengan Menilai batuk atau sukar bernapas dan klasifikasinya, menilai diare dan klasifikasinya, menilai demam dan klasifikasinya, serta menilai masalah telinga dan klasifikasinya.
c.
Menilai batuk atau
sukar bernapas dan klasifikasinya.
Setelah
memeriksa tanda bahaya umum, ditanyakan kepada ibu apakah menderita batuk atau
sukar bernapas, jika anak batuk atau sukar bernapas, sudah berapa lama,
menghitung frekuensi napas, melihat tarikan dinding dada bawah ke dalam, dan
melihat dan dengar adanya stridor. Kemudian dilakukan klasifikasi apakah anak
menderita pneumonia berat, pneumonia atau batuk bukan pneumonia.
d.
Menilai diare dan
klasifikasinya.
Setelah
memeriksa batuk atau suka bernapas, petugas menanyakan kepada ibu apakah anak
menderita diare, jika anak diare, tanyakan sudah berapa lama, apakah beraknya
berdarah (apakah ada darah dalam tinja). Langkah berikutnya adalah memeriksa
keadaan umum anak, apakah anak letargis atau tidak sadar, apakah anak gelisah
dan rewel/mudah marah; melihat apakah mata anak cekung, memeriksa kemampuan
anak untuk minum: apakah anak tidak bisa minum atau malas minum, apakah anak
haus minum dengan lahap; memeriksa cubitan kulit perut untuk mengetahui turgor:
apakah kembalinya sangat lambat (lebih dari 2 detik) atau lambat. Setelah
penilaian didapatkan tanda dan gejala diare, maka selanjutnya diklasifikasikan
apakah anak menderita dehidrasi berat, ringan/sedang, tanpa dehidrasi, diare
pesisten berat, diare persisten atau disentri.
e.
Menilai demam dan
klasifikasinya
Demam
merupakan masalah yang sering dijumpai pada anak kecil. Tanyakan kepada ibu apakah
anak demam, selanjutnya periksa apakah anak teraba panas atau mengukur suhu
tubuh dengan termometer. Dikatakan demam jika badan anak teraba panas atau jika
suhu badan 37,5 derajat celcius atau lebih. Jika anak demam, tentukan daerah
resiko malaria: resiko tinggi, resiko rendah atau tanpa resiko malaria. Jika
daerah resiko rendah atau tanpa resiko malaria, tanyakan apakah anak dibawa
berkunjung keluar daerah ini dalam 2 minggu terakhir. Jika ya, apakah dari
resiko tinggi atau resiko rendah malaria kemudian tanyakan sudah berapa lama
anak demam. Jika lebih dari 7 hari apakah demam terjadi setiap hari, lihat dan
raba adanya kaku kuduk, lihat adanya pilek, apakah anak menderita campak dalam
3 bulan terakhir, lihat adanya tanda-tanda campak: ruam kemerahan di kulit yang
menyeluruh dan terdapat salah satu gejala berikut: batuk, pilek atau mata
merah.
Kemudian
klasifikasikan apakah anak menderita penyakit berat dengan demam, malaria atau
demam mungkin bukan malaria. Jika anak menderita campak saat ini atau 3 bulan
terakhir: lihat adanya luka di mulut, apakah lukanya dalam atau luas, lihat
apakah matanya bernanah, lihat adakah kekeruhan pada kornea mata. Kemudian
klasifikasikan apakah anak menderita campak, campak dengan komplikasi berat,
atau campak dengan komplikasi pada mata atau mulut. Jika demam kurang dari 7
hari, tanyakan apakah anak mengalami perdarahan dari hidung atau gusi yang
cukup berat, apakah anak muntah: sering, muntah dengan darah atau seperti kopi;
apakah berak bercampur darah atau berwarna hitam; apakah ada nyeri ulu hati
atau anak gelisah; lihat adanya perdarahan dari hidung atau gusi yang berat,
bintik perdarahan di kulit (petekie), periksa tanda-tanda syok yaitu ujung
ekstrimitas teraba dingin dan nadi sangat lemah atau tak teraba. Kemudian
klasifikasikan apakah anak menderita Demam Berdarah Dengue (DBD), mungkin DBD
atau demam mungkin bukan DBD.
f.
Menilai masalah telinga
dan klasifikasinya.
Setelah
memeriksa demam, petugas menanyakan kepada ibu apakah anak mempunyai masalah
telinga. Jika anak mempunyai masalah telinga, tanyakan apakah telinganya sakit,
lihat adakah nanah keluar dari telinga, raba adakah pembengkakan yang nyeri di
belakang telinga. Kemudian klasifikasikan apakah anak menderita mastoiditis,
infeksi telinga akut, infeksi telinga kronis atau tidak ada infeksi telinga.
g.
Memeriksa status gizi dan anemia serta klasifikasinya.
Setiap
anak harus diperiksa status gizinya karena kekurangan gizi merupakan masalah
yang sering ditemukan, terutama diantara penduduk miskin. Langkahnya yaitu
memeriksa apakah anak tampak sangat kurus, memeriksa pembengkakan pada kedua
kaki, memeriksa kepucatan telapak tangan: apakah sangat pucat atau agak pucat,
dan membandingkan berat badan anak menurut umur. Kemudian mengklasifikasikan
sesuai tanda/gejala apakah gizi buruk dan/atau anemia berat, bawah garis merah
(BGM) dan/atau anemia, tidak BGM dan tidak anemia.
h.
Memeriksa status
imunisasi
Petugas
memeriksa status imunisasi dari setiap anak yang sakit, kemudian menuliskan
tanggal pemberian imunisasi untuk setiap jenis vaksin. Jika data imunisasi
tidak ada, tanyakan pada ibu imunisasi apa saja yang sudah pernah diberikan
kepada anaknya dan kapan diberikan. Semua anak harus mendapat semua jenis
imunisasi yang dianjurkan sebelum ulang tahunnya yang pertama.
i.
Memeriksa pemberian
vitamin A
Setiap
balita berumur 6 bulan sampai 5 tahun perlu mendapat suplemen vitamin A untuk
mencegah kebutaan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Pemberian vitamin A
biasanya dilakukan setahun 2 kali di Posyandu pada “bulan vitamin A” yaitu
Februari dan Agustus. Menanyakan kepada ibu apakah anaknya yang berumur 6 bulan
keatas telah mendapatkan tambahan vitamin A dan kapan yang terakhir. Tuliskan
tanggal pemberian vitamin A, jika pemberian terakhir telah lebih dari 6 bulan,
anak tersebut sudah memerlukan 1 dosis vitamin A sesuai umurnya. Anjurkan
kepada ibu untuk secara teratur melanjutkan pemberian vitamin A kepada anaknya
di posyandu pada bulan vitamin A sampai anaknya berumur 5 tahun.
j.
Memeriksa masalah kesehatan lainnya
Setelah dilakukan penilaian terhadap tanda bahaya umum, batuk atau sukar bernapas, diare, demam, memeriksa status gizi dan anemia, kemudian periksa apakah ada masalah kesehatan/keluhan lain.
Setelah dilakukan penilaian terhadap tanda bahaya umum, batuk atau sukar bernapas, diare, demam, memeriksa status gizi dan anemia, kemudian periksa apakah ada masalah kesehatan/keluhan lain.
6. Konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
a. Pengertian Kurikulum
Menurut kamus bahasa Indonesia Kurikulum berari
perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan (Depdiknas
2008:617). Yang dimaksud kurikulum adalah suatu perencanaan pengalaman belajar
secara tertulis, kurikulum akan menghasilkan suatu proses yang akan terjadi
seluruhnya di sekolah. Rancangan tersebut akan merupakan silabus yang berupa
daftar judul pelajaran dan urutannya akan tersusun secara runtut sehingga
merupakan program.(Soemiarti Padmonodewo 2000:54)
b. Kurikulum KTSP Untuk Anak Usia Dini
Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan adalah
kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan. KTSP merupakan penyempurnaan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi
yang disusun dan dilaksanakan di sekolah masing-masing (Mansur muslich 2007:10)
Menurut Mulyasa (2006) mendefinisakan bahwa Kurikulum Tingkat Ssatuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkan nya dengan memperhatikan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pasal 36.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disusun sesuai janjang pendidikan dalam kerangka NKRI yang memperhatikan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan, minat peserta didik keagaman, potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan tehnologi dan seni, agama , pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA,IPS seni dan budaya, jasmani dan olahraga, ketrampilan
Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu , dan efesiensi pendidikan agar dapat memodifikasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama erat antar sekolah, masyarakat, industri dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik. Hal tersebut dilakukan agar sekolah dapat secara leluasa mengelola sumber daya dengan mengelola hanya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam konsep ini sekolah dituntut memilikitanggup jawab tinggi, baik kepada orang tua , masyarakat , maupun pemerintah.
KTSP jika dilihat dari segi teoritis maupun falsafah pendidikan merupakan konsep kurikulum yang mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) , sebab konsep yang dijabarkan dalam KTSP menuntut adanya keterlibatan masyarakat secara total, baik kapasitasnya sebagai guru, orang tua peserta didik, komite sekolah, maupun kelompok Industri. Dan pendidikan yang berbasiskan masyrakat didalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, maka pendidikan tersebut betul-betul berakar di dalam kebudayaan. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang berfungsi untuk membudayakan nilai-nilai masyarakat sebagaimana cita-cita reformasi dapat memenuhi fungsinya.
Keterlibatan masyarakat, terutama kepala sekolah/madarasah dan guru dalam pengambilan keputusan-keputusan sekolah juga mendorong rasa kepemilikan yang lebih tinggi terhadap sekolah yang pada akhirnya mendorong mereka untuk menggunakan sumber daya yang ada seefesien mungkin untuk mencapai hasil yang maksimal. Kepala sekolah, guru, maupun peserta didik dalam KTSP diberi peluang untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum , pembelajaran , manajerial dan sebagainya yang tumbuh dari aktivitas , kreativitas , dan profesionalismen yang dimiliki, keterlibatan masyarakat dalam pengembangan kurikulum mendorong sekolah untuk lebih terbuka , demokrasi, dan bertanggung jawab. (M. Joko Susilo, 2007, hal 15)
Terkait penyusunan KTSP yang dipercayakan kepada masing-masing sekolah hampir senada dengan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK . Prinsip ini diimplementasikan untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam melaksanakan, merencanakan, mengelola dan manilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan spirasi mereka. Pada KTSP kewenangan untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum lebih diperbesar.
Menurut Mulyasa (2006) mendefinisakan bahwa Kurikulum Tingkat Ssatuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan yang sudah siap dan mampu mengembangkan nya dengan memperhatikan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pasal 36.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan disusun sesuai janjang pendidikan dalam kerangka NKRI yang memperhatikan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan, minat peserta didik keagaman, potensi daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan tehnologi dan seni, agama , pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, IPA,IPS seni dan budaya, jasmani dan olahraga, ketrampilan
Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu , dan efesiensi pendidikan agar dapat memodifikasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama erat antar sekolah, masyarakat, industri dan pemerintah dalam membentuk pribadi peserta didik. Hal tersebut dilakukan agar sekolah dapat secara leluasa mengelola sumber daya dengan mengelola hanya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. Partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam konsep ini sekolah dituntut memilikitanggup jawab tinggi, baik kepada orang tua , masyarakat , maupun pemerintah.
KTSP jika dilihat dari segi teoritis maupun falsafah pendidikan merupakan konsep kurikulum yang mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) , sebab konsep yang dijabarkan dalam KTSP menuntut adanya keterlibatan masyarakat secara total, baik kapasitasnya sebagai guru, orang tua peserta didik, komite sekolah, maupun kelompok Industri. Dan pendidikan yang berbasiskan masyrakat didalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, maka pendidikan tersebut betul-betul berakar di dalam kebudayaan. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang berfungsi untuk membudayakan nilai-nilai masyarakat sebagaimana cita-cita reformasi dapat memenuhi fungsinya.
Keterlibatan masyarakat, terutama kepala sekolah/madarasah dan guru dalam pengambilan keputusan-keputusan sekolah juga mendorong rasa kepemilikan yang lebih tinggi terhadap sekolah yang pada akhirnya mendorong mereka untuk menggunakan sumber daya yang ada seefesien mungkin untuk mencapai hasil yang maksimal. Kepala sekolah, guru, maupun peserta didik dalam KTSP diberi peluang untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum , pembelajaran , manajerial dan sebagainya yang tumbuh dari aktivitas , kreativitas , dan profesionalismen yang dimiliki, keterlibatan masyarakat dalam pengembangan kurikulum mendorong sekolah untuk lebih terbuka , demokrasi, dan bertanggung jawab. (M. Joko Susilo, 2007, hal 15)
Terkait penyusunan KTSP yang dipercayakan kepada masing-masing sekolah hampir senada dengan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK . Prinsip ini diimplementasikan untuk memberdayakan daerah dan sekolah dalam melaksanakan, merencanakan, mengelola dan manilai pembelajaran sesuai dengan kondisi dan spirasi mereka. Pada KTSP kewenangan untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum lebih diperbesar.
B. Toileting
Training pada Anak
1. Pengertian
Toilet training pada
anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak agar mampu mengontrol dalam
melakukan buang air kecil dan buang air besar (Hidayat, 2005).
Menurut Supartini
(2004), toilet training merupakan aspek
penting dalam perkembangan anak usia toddler yang harus mendapat
perhatian orang tua dalam berkemih dan
defekasi. Dan toilet training juga dapat menjadi awal terbentuknya kemandirian
anak secara nyata sebab anak sudah bisa untuk
melakukan hal-hal yang kecil seperti buang air kecil dan buang air
besar (Harunyahya, 2007).
Pada tahapan usia 1
sampai 3 tahun atau usia toddler, kemampuan sfingter uretra untuk mangontrol rasa ingin berkemih
dan sfingter ani untuk mengontrol rasa
ingin defekasi mulai berkembang (Supartini, 2002). Sedangkan menurut Gupte (2004) sekitar 90 persen bayi mulai
mengembangkan kontrol kandung kemihnya
dan perutnya pada umur 1 tahun hingga 2,5 tahun. Dan toilet training ini dapat berlangsung pada fase kehidupan
anak yaitu umur 18 bulan sampai 24 bulan
(Hidayat, 2005).
2. Tahapan Toilet Training
Mengajarkan toilet
training pada anak memerlukan beberapa tahapan seperti membiasakan menggunakan toilet pada
anak untuk buang air, dengan membiasakan anak masuk ke dalam WC anak akan cepat
lebih adaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan
pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara rutin
kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air.
Anak dibiarkan duduk
di toilet pada waktu – waktu tertentu setiap hari, terutama 20 menit setelah
bangun tidur dan seusai makan, ini bertujuan
agar anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis
(mengompol) dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil melakukan toilet
training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan
apabila anak belum dapat melakukan dengan baik ( Pambudi, 2006).
Prinsip dalam
melakukan toilet training ada 3 langkah yaitu melihat kesiapan anak,
persiapan dan perencanaan serta toilet training itu sendiri:
a.
Melihat kesiapan anak
Salah satu pertanyaan utama tentang toilet
training adalah kapan waktu yang
tepat bagi orang tua untuk melatih toilet training. Sebenarnya tidak
patokan umur anak yang tepat dan baku untuk toilet training karena
setiap anak mempunyai perbedaan dalam hal fisik dan proses biologisnya. Orang
tua harus mengetahui kapan waktu yang tepat bagi anak untuk dilatih buang air
dengan benar. Para ahli menganjurkan untuk melihat beberapa tanda kesiapan anak
itu sendiri, anak harus memiliki kesiapan terlebih dahulu sebelum menjalani toilet
training. Bukan orang tua yang
menentukan kapan anak harus memulai proses toilet training akan tetapi
anak harus memperlihatkan tanda kesiapan toilet training, hal ini untuk
mencegah terjadinya beberapa hal yang tidak diinginkan seperti pemaksaan dari
orang tua atau anak trauma melihat toilet.
b.
Persiapan dan perencanaan
Prinsipnya ada 4 aspek dalam tahap persiapan dan
perencanaan. Hal yang perlu diperhatikan hal – hal sebagai berikut gunakan
istilah yang mudah dimengerti oleh anak yang menunjukkan perilaku buang air
besar (BAB) / buang air kecil (BAK) misalnya poopoo untuk buang air
besar (BAB) dan peepee untuk buang air kecil (BAK). Orang tua dapat
memperlihatkan penggunaan toilet pada anak sebab pada usia ini anak cepat
meniru tingkah laku orang tua. Orang tua hendaknya segera mungkin mengganti
celana anak bila basah karena enkopresis (mengompol) atau terkena
kotoran, sehingga anak akan merasa risih bila memakai celana yang basah dan
kotor. Meminta pada untuk memberitahu atau menunjukkan bahasa tubuhnya apabila
ia ingin buang air kecil (BAK) atau buang air besar (BAB) dan bila anak mampu
mengendalikan dorongan buang air maka jangan lupa berikan pujian pada anak (Farida, 2008).
Selain itu ada juga persiapan dan perencanaan yang lain seperti:
1)
Mendiskusikan tentang toilet training dengan
anak
Orang tua bisa menunjukkan dan menekankan bahwa
pada anak kecil memakai popok dan pada
anak besar memakai celana dalam. Orang tua juga bisa membacakan cerita tentang
cara yang benar dan tepat ketika buang air.
2)
Menunjukkan penggunaan toilet
Orang tua harus melakukan sesuai dan jenis kelamin
anak ( ayah dengan anak laki – laki dan ibu dengan anak perempuan). Orang tua
juga bisa meminta kakaknya untuk menunjukkan pada adiknya bagaimana menggunakan
toilet dengan benar ( disesuaikan juga dengan jenis kelamin).
3)
Membeli pispot yang sesuai dengan kenyamanan anak
Pispot ini digunakan untuk melatih anak sebelum ia
bisa dan terbiasa untuk duduk di toilet.
Anak bila langsung menggunakan toilet orang dewasa, ada kemungkinan anak akan
takut karena lebar dan terlalu tinggi untuk anak atau tidak merasa nyaman.
Pispot disesuai dengan kebutuhan anak, diharapkan dia akan terbiasa dulu buang
air di pispotnya baru kemudian diarahkan ke toilet sebenarnya. Orang tua saat
hendak membeli pispot usahakan untuk melibatkan anak sehingga dia bisa
menyesuaikan dudukan pispotnya atau bisa memilih warna, gambar atau bentuk yang
ia sukai.
4)
Pilih dan rencanakan metode reward untuk anak
Suatu proses panjang dan tidak mudah seperti toilet
training ini, seringkali dibutuhkan suatu bentuk reward atau reinforcement yang bisa menunjukkan kalau ada kemajuan yang
dilakukan anak dengan sistem reward yang tepat. Anak juga bisa melihat sendiri
kalau dirinya bisa melakukan kemajuan dan bisa mengerjakan apa yang sudah
terjadi tuntutan untuknya sehingga hal ini akan menambah rasa mandiri dan
percaya dirinya. Orang tua bisa memilih metode peluk cinta serta pujian di
depan anggota keluarga yang lain ketika dia berhasil melakukan sesuatu atau
mungkin orang tua bisa menggunakan sistem stiker / bintang yang ditempelkan
dibagian ” keberhasilan” anak.
3. Factor-Faktor
yang Mendukung Toilet Training pada Anak
a.
Kesiapan Fisik
1.
Usia telah mencapai 18-24 bulan
2.
Dapat jongkok kurang dari 2 jam
3.
Mempunyai kemampuan motorik kasar seperti duduk dan
berjalan
4.
Mempunyai kemampuan motorik halus seperti membuka
celana dan pakaian
b.
Kesiapan Mental
1.
Mengenal rasa ingin berkemih dan devekasi
2.
Komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa
ingin berkemih
3.
Keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan
meniru perilaku orang lain
c.
Kesiapan Psikologis
1.
Dapat jongkok dan berdiri ditoilet selama 5-10
menit tanpa berdiri dulu
2.
Mempunyai rasa ingin tahu dan penasarsan terhadap
kebiasaan orang dewasa dalam BAK dan BAB
3.
Merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya
benda padat dicelana dan ingin segera diganti
d.
Kesiapan Anak
1.
Mengenal tingkat kesiapan anak untuk berkemih dan
devekasi
2.
Ada keinginan untuk meluangkan waktu untuk latihan
berkemih dan devekasi pada anaknya
3.
Tidak mengalami koflik tertentu atau stress
keluarga yang berarti (Perceraian)
4.
Tanda anak siap untuk
melakukan Toilet Training
a.
Tidak mengompol dalam waktu beberapa jam sehari
minimal 3-4 jam
b.
Anak berhasil bangun tidur tanpa mengompol
c.
Anak mengetahui saat merasa ingin BAK dan BAB
dengan menggunakan kata-kata pup
d.
Sudah mampu memberi tahu bila celana atau popok
sekali pakainya sugah basah dan kotor
e.
Bila ingin BAK dan BAB anak memberi tahu dengan
cara memegang alat kelamin atau minta ke kamar mandi
f.
Biasa memakai dan melepas celana sendiri
g.
Memperlihatkan ekspresi fisik misalnya wajah
meringis, merah atau jongkok saat merasa BAB dan BAB
h.
Tertarik dengan kebiasaan masuk ke kamar mandi
seperti kebiasaan orang sekitarnya
i.
Minta diajari menggunakan toilet
j.
Mampu jongkok 5-10 menit tanpa berdiri dulu
5.
Masalah yang mungkin timbul dalam pelatihan toilet training
(Thomson, 2003)
a.
Rasa takut akan siraman air toilet adalah biasa,
namun dapat mengganggu latihan memakai
toilet
b.
Bagi beberapa anak rasa takut akan toilet
membuatnya menahan trauma buang air besar
c.
Anak yang sudah dilatih dapat mengalami kemunduran
dan mulai buang air lagi ditempat yang
tidak seharusnya
d.
Anak bisa tertarik dengan fesesnya sendiri(anak
tidak rela apabila fesesnya di siram). Baginya prestasi buang air besar adalah
prestasi menakjubkan dan anak sangat bangga bisa melakukannya.
e.
Ada tahap ketika anak merasa tertarik dengan
bagaimana anak yang jenis kelaminnya berbeda buang air kecil.
6.
Kemampuan Toilet
Training Anak Usia 18 – 36 Bulan
Anak – anak yang
telah mampu melakukan toilet training dapat dilihat dari kemampuan
psikologi, kemampuan fisik dan kemampuan kognitif.
a.
Kemampuan psikologi anak mampu melakukan toilet
training sebagai berikut : anak tampak kooperatif, anak memiliki waktu
kering periodenya antara 3 – 4 jam, anak buang air kecil dalam jumlah yang
banyak, anak sudah menunjukkan keinginan untuk buang air besar dan buang air
kecil dan waktu untuk buang air besar dan kecil sudah dapat diperkirakan dan
teratur.
b.
Kemampuan fisik dalam melakukan toilet training
yaitu anak dapat duduk atau jongkok tenang kurang lebih 2 – 5 menit, anak dapat
berjalan dengan baik, anak sudah dapat menaikkan dan menurunkan celananya
sendiri, anak merasakan tidak nyaman bila mengenakan popok sekali pakai yang
basah atau kotor, anak menunjukkan keinginan dan perhatian terhadap kebiasaan
ke kamar mandi, anak dapat memberitahu bila ingin buang air besar atau kecil,
menunjukkan sikap kemandirian, anak sudah memulai proses imitasi atau meniru segala tindakan orang, kemampuan
atau ketrampilan dapat mencontoh atau mengikuti orang tua atau saudaranya dan
anak tidak menolak dan dapat bekerjasama saat orang tua mengajari buang air.
c.
Kemampuan kogitif anak bila anak sudah mampu
melakukan toilet training
seperti dapat mengikuti dan menuruti instruksi sederhana, memiliki bahasa
sendiri seperti peepee untuk buang air kecil dan poopoo untuk buang air besar dan anak dapat mengerti
reaksi tubuhnya bila ia ingin buang air kecil atau besar dan dapat memberitahukan
bila ingin buang air ( Nadira, 2006).
DAFTAR
PUSTAKA
Khaeruddin Dkk. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Konsep dan
Implementasi. Yogyakarta : Pilar Media dan MDC
Mansur. 2005. Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta
: Pustaka Pengajar
Mulyasa. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Bandung : PT Rosdakarya
Soemiarti, Patmonodewo. 2000. Pendidikan Anak
Prasekolah. Jakarta : Rineka Cipta