BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan data Departerment kesehatan (Depkes) pada periode
juli-september 2016 secara kumulatif tercatat pengidap HIV positif di tanah air
telah mencapai 4.617 orang dan AIDS 6.987 0rang (Media Indonesi, 2006) . HIV/AIDS
merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkann dan belum ditemukan obat yang
dapat memulihkannya hingga saat ini. Menderita HIV/AIDS di indonesia dianggap
aib, sehingga dapat menyebabkan tekanan psikologis terancam pada penderitanya
maupun pada keluarga dan lingkungan di sekeliling penderita. Secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan
tubuh penderitanya. Jika ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang
berkepanjangan pada pasie terinfeksi HIV, maka akan mempercepat terjadinya
AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian. Menurut Ross (1997), jika stres
mencapai tahap kelelahan, maka dapat menimbulkan kegagalan fungsi sistem imun
yang memperparah keadaan pasien serta mempercepat terjadinya AIDS.
Modulasi respons imun penderita HIV/AIDS akan menurun secara signifikan,
seperti aktivitas APC (magrofaq) ; Th1 (CH4); IFNy; IL-2; immunoglobin A, G, E
dan anti-HIV. Penurunn tersebut akan berdampak terhadap penurunan jumlah CD4
hingga mencapai 180 sel/ul per tahun. Kehamilan merupakan
peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu makan
berkurang dan kelelahan.
Menurunnya kondisi
wanita hamil cenderung memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit
infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS. Sejak ditemukannya infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) pada tahun 1982, penelitian semakin banyak
dilakukan dan ternyata hasilnya sangat mengejutkan dunia. Terdapat sekitar lima
jenis HIV dengan bentuk infeksi terakhir disebut AIDS (acquired
immunodeficiency syndrome), yaitu kondisi hilangnya kekebalan tubuh
sehingga member kesempatan berkembangnya berbegai bentuk infeksi dan keganasan,
kemunduran kemampuan intelektual, dan penyakit lainnya.
Dengan hilangnya semua
kekebalan tubuh manusia pada AIDS, tubuh seolah-olah menjadi tempat pembenihan
bakteri, protozoa, jamur serta terjadi degenerasi ganas.
Penelitian telah
dilakukan sejak HIV pertama kali ditemukan, tetapi sampai saat ini obatnya
belum ditemukan sehingga bila terinfeksi virus HIV berarti sudah menuju
kematian. Obat yang tersedia sekedar untuk mempertahankan atau memperpanjang
usia, bukan untuk membunuh virus HIV. Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka mungkin
dapat memberikan manfaat.
Namun,
seks tanpa perlindungan antara orang yang yang berisiko membawa HIV
sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan
yang tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan
reproduksi. Hal ini jelas bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk
melakukan tes HIV untuk memastikan status mereka dengan asumsi bahwa mereka
mungkin terinfeksi karena pernah memiliki hubungan seksual denga seseorang yang
telah diuji dan ditemukan sero-positif HIV. Komunikasi seksualitas
antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor pelindung untuk
seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV.
Meningkatkan
kesehatan seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia. Intervensi
yang bertujuan untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan
seksual dan meningkatkan penggunaan kondom. Dari penelitian yang dilakukan di
negara berkembang menunjukkan bahwa
pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk memberikan dampak positif pada
pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun mengubah perilaku seksual sangat
terbatas. Evolusi
infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua pengaturan
perawat klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis.
Setiap
perawat harus memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan,
dan kronisitas dari penyakit dalam rangka untuk memberikan perawatan yang
berkualitas tinggi kepada orang-orang dengan atau berisiko untuk HIV. HIV
dapat menular melalui kontak darah, namun disini kami akan mencoba membahas
bagaiamana HIV AIDS yang dialami ibu hamil dan bagaimana melakukan sebuah
proses keperawatan pada ibu hamil dengan HIV /AIDS.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
Untuk mengetahui
penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil dan untuk mengetahui Asuhan Keperawatan
HIV/AIDS pada ibu hamil.
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui
pengertian HIV/AIDS pada ibu hamil
b.
Untuk mengetahui
penyebab/etiologi HIV/AIDS pada ibu hamil
c.
Untuk mengetahui
menifestasi klinis HIV/AIDS pada ibu hamil
d.
Untuk mengetahui
patofisiologi HIV/AIDS pada ibu hamil
e.
Untuk mengetahui cara
penularan HIV/AIDS pada ibu hamil
f.
Untuk mengetahui faktor
risiko HIV/AIDS pada /ibu hamil
g.
Untuk mengetahui
pemeriksaan penunjang HIV/AIDS pada ibu hamil
h.
Untuk mengetahui
penatalaksaan HIV/AIDS pada ibu hamil
i.
Untuk mengetahui
pencegahan HIV/AIDS pada ibu hamil
j.
Untuk mengetahui sikap
dan pertolongan persalinan
k.
Untuk mengetahui Asuhan
keperawatan HIV/AIDS pada ibu hamil
C.
Sistematika Penulisan
1.
BAB I terdiri dari :
Latar belakang, survey angka kejadian kasus pada ibu hamil dengan gangguan
HIV/AIDS, rumusan masalah ibu hamil dengan HIV/AIDS, tujuan penulisan dan
sistematika penulisan.
2.
BAB II terdiri dari :
Tinjauan teoritis dengan konsep ibu hamil dengan HIV/AIDS, pengertian, etiologi, patofisiologi, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, komplikasi, adapun asuhan keperawatan meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi
3.
BAB III terdiri dari :
Penutup, kesimpulan dan saran
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A.
Konsep
HIV / AIDS pada Ibu Hamil
1.
Pengertian
HIV (
Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang system
kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat
menyebabkan AIDS, sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi
imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat
menerangkan terjadinya defisiensi tersebut sepertii keganasan, obat-obat
supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya ( Rampengan
& Laurentz ,1997 : 171).
AIDS
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang merusak sistem kekebalan tubuh
manusia (H. JH. Wartono, 1999 : 09).
AIDS
merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
(dr. JH. Syahlan, SKM. dkk, 1997 : 17).
Infeksi
pada kehamilan adalah penyebab morbiditas ibu dan neonatal yang sudah
diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan dalam makalah ini akan dibahas
mengenai penyakit infeksi yang sering ditemukan yang dapat terjadi dalam
kehamilan.
Kesimpulan : penyakit HIV / AIDS merupakan penyakit yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh virus dan bisa
menimbulkan/ menularkan kepada bayinya
2. Etiologi
Penyebab AIDS adalah
sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini
pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di
Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus
adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel
yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke
sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang
lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif.
Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu
dianggap infeksius yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan
selama hidup penderita tersebut.. Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti
(core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun
atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan
beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein.
Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV
termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih,
sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter,
aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten
terhadap radiasi dan sinar utraviolet.
Virus HIV
hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan
otak.
Penularan
virus HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal, di antaranya ;
a.
Hubungan
seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual
secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa
menularkan HIV, selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina,
dan darah dapat mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau mulut,
sehingga HIV yang terdapat dalam cairan, tersebut masuk ke aliran darah. Selama
berhubungan juga bisa terjadi lesi makro pada dinding vagina, dubur, dan mulut,
yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual
(Saiful, 2000).
b.
Ibu
pada bayinya
Penularan HIV dari ibu
terjadi pada saat kehamilan. Penularan
juga terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau kontak
antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan. Semakin lama proses melahirkan, semakin besar resiko penularan.
c.
Darah
dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat
menularkan HIV karena virus langsung masuk kepembuluh darah dan menyebar ke
seluruh tubuh
d.
Pemakaian
alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan
kandungan seperti speculum, tenakulum, dan alat-alat lain yang menyentuh darah,
cairan vagina, atau air mani, yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk
orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan
e.
Alat-alat
untuk menorah kulit
Alat tajam dan runcing
seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang membuat tato, memotong rambut,
dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa di
sterilkan terlebih dahulu
f.
Menggunakan
jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang
digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna
narkoba sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik pada para pemakai
IDU secra bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk, dan gelas
pengoplos obat sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV/AIDS.
Semula diperkirakan
factor risiko infeksi HIV hanya homoseksual, dan pengguna narkoba yang menggunakan suntikan terinfeksi, tetapi
jumlahnya semakin besar. Infeksi HIV terutama menyerang sel T limfosit dan
system saraf pusat. Cara masuknya ke dalam sel mulai dengan ikatan reseptornya
pada sel lomfosit dan diikuti rusaknya inti kemudian memecahkan dirinya menjadi
beberapa virus HIV. Secara berabtai, virus HIV kembali akan menyerang sel lomfosit CD4 sehingga
akhirnya terjadi penurunan daya tahan tubuh secara menyeluruh dan disebut acquired immunodefeciency syndrome (AIDS).
Kelompok
orang yang berisiko tinggi terinfeksi Virus HIV sebagai berikut :
1. Janin dengan ibu yang terjangkit HIV
2.
Perempuan yang menggunakan obat
bius injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
3. Pekerja seks komersial
4. Pasangan yang heteroseks dengan adanya penyakit
kelamin
3.
Patofisiologi
HIV masuk kedalam darah dan
mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Sekali ia
berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang
disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic
acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut
menjadi bagian dari DNA manusia,
yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut
mulai menghasilkan virus–virus HI. Enzim lainnya, protease, mengatur viral
kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut
keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menularlebih
banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya
merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah
diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit
yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah
terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan
mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut
mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya. Jumlah normal dari sel–sel
CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika
seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi
semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
Infeksi–infeksi oportunistik adalah
infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada
seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak
biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut
dapat menjadi fatal.
Kehamilan merupakan
usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada wanita hamil terjadi
melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara
berkembang istri tidak berani mengatur
kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang
masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula
masalah seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
Cara penularan virus HIV-AIDS
pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual. Salah seorang peneliti
mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke isterinya
sejumlah 22% dan istri yang terinfeksi HIV kesuaminya sejumlah 8%. Namun
penelitian lain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif
menjadi positif) dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38%
dari isteri ke suami dianggap sama.
Penularan HIV dari ibu ke anak
terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar masih berusia
subur, sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang terjadi pada saat
kehamilan (Richard, et al., 1997). Selain
itu juga karena
terinfeksi dari suami atau pasangan yang sudah terinfeksi HIV/AIDS karena sering
berganti-ganti pasangan dan gaya hidup. Penularan ini dapat terjadi dalam 3
periode :
1. Periode kehamilan
Selama kehamilan, kemungkinan
bayi tertular HIV sangat kecil. Hal ini
disebabkan karena terdapatnya plasenta yang tidak dapat ditembus oleh virus
itu sendiri. Oksigen, makanan, antibody dan obat obatan memang dapat menembus
plasenta, tetapi tidak oleh HIV. Plasenta justru melindungi janin dari infeksi
HIV. Perlindungan menjadi tidak efektif apabila ibu:
a. Mengalami infeksi viral, bakterial, dan
parasit (terutama malaria)
pada plasenta selama kehamilan.
b.
Terinfeksi HIV selama kehamilan,
membuat meningkatnya muatan virus pada
saat itu.
c. Mempunyai daya tahan tubuh yang menurun.
d. Mengalami malnutrisi selama kehamilan
yang secara tidak langsung
berkontribusi untuk terjadinya penularan dari ibu ke anak.
2. Periode persalinan
Pada
periode ini, resiko terjadinya penularan HIV lebih besar jika dibandingkan periode kehamilan. Penularan
terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit
atau membrane mukosa bayi dengan darah
atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses persalinan, maka semakin besar pula resiko penularan terjadi.
Oleh karena itu, lamanya persalinan dapat
dipersingkat dengan section caesaria. Faktor yang mempengaruhi
tingginya risiko penularan dari ibu ke
anak selama proses persalinan adalah:Lama robeknya membran.
a. Chorioamnionitis akut (disebabkan tidak
diterapinya IMS atau infeksi
lainnya).
b. Teknik invasif saat melahirkan yang
meningkatkan kontak bayi dengan darah ibu misalnya, episiotomi.
c. Anak pertama dalam kelahiran kembar
3. Periode Post Partum
Cara
penularan yang dimaksud disini yaitu penularan melalui ASI. Berdasarkan data penelitian De Cock, dkk
(2000), diketahui bahwa ibu yang menyusui
bayinya mempunyai resiko menularkan HIV sebesar10-
15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya. Risiko penularan melalui ASI tergantung dari:
a. Pola pemberian ASI, bayi yang
mendapatkan ASI secara eksklusif akan kurang berisiko dibanding dengan
pemberian campuran.
b. Patologi payudara: mastitis, robekan
puting susu, perdarahan putting susu dan infeksi payudara lainnya.
c. Lamanya pemberian ASI, makin lama makin
besar kemungkinan infeksi.
d. Status gizi ibu yang buruk. Banyak cara yang
diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV
yang diketahui adalah melalui:
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui
hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan
infeksi HIV yang palingsering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari
setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis
hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV
cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada
pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan
berganti pasangan merupakan kelompok
manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia
barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan
perilaku seksual dengan resiko
tinggi bagi penularan HIV, khususnya
bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi
semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan
dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika
dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang
mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksual
a. Transmisi
Parenral
Yaitu
akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan
jarum suntik yang tercemar secara
bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai
oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara
transmisi parental ini kurang dari 1%.
1) Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau
produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun
1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih
dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang
mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan
dan sewaktu menyusui. Penularan melalui
air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
Pathway
HIV / AIDS
(Sumber:
Nanda NIC-NOC)
4.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang tampak
dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Manifestasi Klinis Mayor
a. Demam berkepanjangan lebih dari 3 bulan.
b. Diare kronis lebih dari satu bulan berulang
maupun terus-menerus.
c. Kehilangan napsu makan.
d. Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam 3
tiga bulan.
e. Berkeringat.
2. Manifestasi Klinis Minor
a. Batuk kronis
b.Infeksi pada mulut dan jamur disebabkan karena
jamur Candida Albicans
c. Pembengkakan kelenjar getah bening yang
menetap di seluruh tubuh
d. Munculnya Herpes zoster berulang dan
bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.
Berdasarkan gambaran klinik (WHO 2006)
1.
Fase
klinik 1
Tanpa gejala,
limfadenopati (gangguan kelenjar/pembuluh limfe) menetap dan menyeluruh
2.
Fase
klinik 2
Penurunan BB ( <10%
) tanpa sebab. Infeksi saluran pernafasan atas (sinusitis, tonsillitis,
otitis media, pharyngitis) berulang. Herpes zoster,infeksi sudut bibir, ulkus
mulut berulang, popular preuritic eruptions, seborrhoic dermatitis, infeksi
jamur pada kuku.
3.
Fase
klinik 3
Penurunan BB ( >10%
) tanpa sebab. Diare kronik tanpa sebab sampai >1 bulan. Demam menetap
(intermiten atau tetap >1 bulan). Kandidasis oral menetap. TB pulmonal
(baru), plak putih pada mulut, infeksi bakteri berat misalnya : pneumonia,
empyema (nanah dirongga tubuh trauma pleura, abses pada otot skelet, infeksi
sendi atau tulang), meningitis, bacteremia, gangguan inflamasi berat pada
pelvik acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis
anemia yang penyebabnya tidak diketahui (<8 g/dl) neutropenia (<0,5x10/l)
dan atau trombositopenia kronik.
4.
Fase
klinik 4
Gejala menjadi kurud
(HIV wasting syndrome), pneumocystis pneumonia (pneumonia karena pneumocystis
carinii), peneumonia bakteri berulanng, infeksi gerpes simplex kronik
(orolabial, genital atau anorektal >1 bulan) oesophageal candidiasis, TBC
ekstrapulmonal, cytomegalovirus, toksoplasma di SSP, HIV encephalopathy,
meningitis, infection progressive multivocal, lymphoma, invasive cervical
carcinoma, leukoencepgalopathy.
Fase
|
Lama Fase
|
Antibodi yang
terdeteksi
|
Gejala-gejala
|
dapat ditularkan
|
Periode jendela
|
4 minggu-6 bulan infeksi
|
tidak
|
tidak ada
|
ya
|
Infeksi HIV primer akut
|
1-2 minggu
|
mungkin
|
sakit seperti flu
|
ya
|
infeksi asimptomatik
|
1-15 tahun/lebih
|
ya
|
tidak ada
|
ya
|
Supresi imun simptomatik
|
sampai 3 tahun
|
ya
|
demam, keringat pada malam hari, BB turun, diare,
neuropatik, keletihan, ruam kulit, limadenopati, perlambatan kognitif, lesi
oral
|
ya
|
AIDS
|
1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS
|
ya
|
infeksi oportunistik berat dan tumor, manisfestasi
neurologik
|
ya
|
5.
Pemeriksaan
Penunjang
Tes-tes saat ini tidak
membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat menunjukkan tes
negatif pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba mengembangkan prosedur
siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons antibody bayi dan ibu.
1.
Pemeriksaan
histologis, sitologis urin , hitung darah lengkap, feces, cairan spina, luka,
sputum, dan sekresi.
2.
Tes
neurologis: EEG, MRI, CT Scan otak, EMG.
3.
Tes
lainnya: sinar X dada menyatakan perkembangan filtrasi Interstisial dari PCV
tahap lanjut atau adanya komplikasi lain; tes fungsi pulmonal untuk deteksi
awal pneumonia interstisial;Scangallium; biopsy; branskokopi.
4.
Tes
Antibodi
a. Tes
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay),
untu menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV.
b. Western
blot asay/ Indirect Fluorescent Antibody (IFA), untuk mengenali antibodi
HIV dan memastikan seropositifitas HIV.
c. Indirect
immunoflouresence, sebagai pengganti pemerikasaan western blot untuk memastikan
seropositifitas.
d. Radio
immuno precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.
e. Pendeteksian
HIV.
Dilakukan dengan pemeriksaan P24 antigen capture assay dengan kadar yang sangat rendah. Bisa juga dengan
pemerikasaan kultur HIV atau kultur plasma kuantitatif
untuk mengevaluasi efek anti virus, dan pemeriksaan viremia plasma untuk mengukur beban virus (viral
burden).
Antibody yang ditimbulkan oleh
infeksi HIV terjadi sejak infeksi berusia 2-3 bulan.
Antibody ini akan masuk melalui plasenta menuju janin.Infeksi langsung pada janin mulai sejak usia 13 minggu
dengan mekanisme yang tidak diketahui.
Infeksi ini disebut sebagai infeksi vertical karena berlangsung semasih intrauterin. Cara infeksi lainnya
pada bayi adalah saat pertolongan persalinan
karena melalui jalan lahir dengan cairannya yang penuh dengan virus HIV.
6.
Penatalaksanaan
Pengalaman program
yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak
rekomendasi WHO untuk pemberian
makanan bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006.
Secara khusus, telah dilaporkan bahwa antiretroviral (ARV) intervensi baik ibu
yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar HIVsecara signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca
kelahiran melalui menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana
perempuan yang hidup dengan HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja
kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV
memiliki potensi secara signifikan untuk meningkatkan
peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV.
Dimana
otoritas nasional mempromosikan pemberian
ASI dan ARV, ibu yang diketahui terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk
menyusui bayi mereka setidaknya
sampai usia 12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh
digunakan kecuali jika dapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan
aman (AFASS).
Pemberian
antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada
dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih untuk negara
berkembang adalah Nevirapine, pada
saat ibu saat persalinan diberikan 200mg dosis tunggal, sedangkan bayi bisa
diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis tunggal. Obat lain yang
bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai
kehamilan 36 minggu 2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama
persalinan berlangsung.
Belum ada penyembuhan
untuk AIDS jadi yang dilakukan adalah pencegahan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Tapi, apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) maka terapinya yaitu :
1.
Pengendalian infeksi oportunistik. Bertujuan
menghilangkan,mengendalikan dan pemulihan infeksi opurtuniti, nosokomial atau sepsis, tindakan ini harus di pertahankan
bagi pasien di lingkungan perawatan yang kritis.
2.
Terapi
AZT (Azidotimidin). Obat ini menghambat replikasi antiviral HIV dengan menghambat
enzim pembalik transcriptase.
3.
Terapi
antiviral baru. Untuk meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus atau
memutuskan rantai reproduksi virus pada proses nya. Obat- obat ini adalah :
didanosina, ribavirin, diedoxycytidine, recombinant CD4 dapat larut.
4.
Vaksin
dan rekonstruksi virus, vaksin yang digunakan adalah interveron.
5.
Menghindari
infeksi lain, karena infeksi dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat replikasi
HIV.
6.
Rehabilitasi. Bertujuan untuk
memberi dukungan mental-psikologis,membantu mengubah perilaku risiko tinggi
menjadi perilaku kurang berisiko atau tidak berisiko, mengingatkan cara hidup
sehat dan mempertahankan kondisi tubuh sehat.
7.
Pendidikan.
Untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan makanan yang sehat, hindari stres, gizi yang kurang,
obat-obatan yang mengganggu fungsi imun. Edukasi ini juga bertujuan untuk
mendidik keluarga pasien bagaimana menghadapi kenyataan ketika
anak mengidap AIDS dan kemungkinan isolasi dari masyarakat.
Dibawah
ini adalah gejala dari HIV / AIDS
1. Gejala mayor
a.
BB menurun
lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih
dari 1 bulan
c.
Penurunan
kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2.
Gejala minor
a.
Batuk
menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c.
Adanya
herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e.
Herpes
simplex kronik progresif
f.
Limfadenopati
generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin
wanita
h. Retinitis Cytomegalovirus
7.
Komplikasi
Pada
klien mempunyai penyakit HIV / AIDS mempunyai komplikasi sebagai berikut :
a.
Tuberkulosis (TBC)
b.
Salmonellosis (infeksi penyakit yang berasal dari
makanan)
Penderita
mendapati infeksi bakteri ini dari makanan atau air yang terkontaminasi. Tanda
dan gejala termasuk diare berat, demam, mengigil, sakit perut, dan
kadang-kadang muntah. Meskipun setiap orang terkena bakteri salmonella dapat
menjadi sakit, tetapi salmonellosis jauh lebih banyak di derita oleh orang
pengidap HIV positif
c.
Cytomegalovirus (infeksi virus yang menyerang sel imun
tubuh)
Umumnya
virus herves ini di tularkan dalam bentuk cairan tubuh seperti air liur, darah,
urine, air mani, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang memang dapat
menonaktifkan virus, namun virus tetap aktif di dalam tubuh penderita. Jika
sistem kekebalan tubuh melemah, maka virus muncul kembali dan akan menyebabkan
kerusakan pada mata, saluran pencernaan, paru-paru atau organ lain penderita.
d.
Herpes encephalitis (infeksi yang menyerang syaraf otak)
Herpes
simpleks ensefalitis (HSE) adalah penyakit akut atau sub akut, tanda-tanda yang
menyebabkan disfungsi syaraf otak. Ditandai adanya gejala demam, sakit kepala,
perubahan perilaku, kebingungan.
B. Asuhan Keperawatan dengan
Gangguan Sistem Reproduksi Infertility HIV / AIDS
1. Pengkajian
a.
Identitas ibu hamil
b.
Keluhan utama
Keluhan yang paling sering terjadi pada pasien
hamil dengan HIV / AIDS adalah selain keluhan sehubungan dengan
kehamilannya ibu juga mengeluh berbagai
masalah sesuai dengan stadium
1)
Stadium Klinis 1
a)
Asimtomatis
b)
Limpa denopati persistent
generalisata
c)
Penampilan atau aktivitas fisik
skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.
2)
Stadium Klinis 2
a)
Penurunan berat badan 10% dari
berat badan sebelumnya
b)
Manisfestasi mukokutaneus minor
(dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi mukosa oral
berulang, cheilitis agularis ).
c)
Herpes zoster, dalam 5 tahun
terakhir
d)
Infeksi berulang pada saluran
pernapasan atas (misalnya sinusitis bacterial)
3)
Stadium klinis 3
a)
Penurunan berat badan >10%
b)
Diare kronis dengan penyebab
tidak jelas >1 bulan
c)
Demam dengan sebab yang tidak
jelas >1 bulan
d)
Kandidiasis oris
e)
Oral hairy leukoplakia
f)
TB pulmoner dalam 1 tahun
terakhir
g)
Infeksi bacterial berat misalnya
pneumonia, piomiositis.
4)
Stadium klinis 4
a)
HIV wasting syndrome, sesuai yang
di tetapkan CDC
b)
PCP (pneumocystis carinii
pneumonia)
c)
Cryptococcosis ekstrapulmoner
d)
Infeksi virus sitomegali
e)
Infeksi herper simpleks >1
bulan
f)
Berbagai infeksi jamur berat
g)
Kandidiasis esophagus, trachea
atau bronkus
h)
Mikobakteriosis atypical
i)
Salmonlosis non tifoid disertai
setikemia
j)
TB, ekstrapulmoner
k)
Limfoma maligna
l)
Sarcoma kaposis
m)
Ensefalopati HIV
c.
Riwayat obstreti
1.
Riwayat menstruasi
Fluor albus : banyak, gatal, berbau, warna hijau.
Pada ibu dengan HIV mudah terkena infeksi jamur yang bila mengenai organ
genetal bisa menyebabkan keputihan.
2.
Riwayat obstetric lalu
Kehamilan yang lalu terinfeksi HIV, ibu dapat
bersalin dengan SC
3.
Riwayat kehamilan sekarang
Keluhan pada trimester I,II atau III pada ibu hamil
dengan HIV seperti keluhan ibu hamil normal terkadang dijumpai keluhan
berdasarkan stadium HIV / AIDS
Trimester I : chloasma gravidarum, mual dan muntah
(akan hilang pada kehamilan 12-14 minggu ) sering kencing, pusing, ngidam, obstipasi.
Trimester II : body image dan nafsu makan bertambah
Trimester III : sering kencing, obstipasi, sesak
nafas (bila tidur terlentang) sakit punggung, edema, varises
d.
Riwayat perkawinan
Hamil dengan HIV biasanya ibu atau suami menikah
lebih dari satu kali atau mempunyai banyak pasangan.
e.
Riwayat kesehatan ibu
Pada ibu dengan HIV biasnya penyakit yang diderita
beragam, antara lain : demam, faringitis, limfadenopati, artalgia, myalgia,
letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia, penurunan berat
badan, dapat juga menimbulkan kelainan saraf seperti meningitis, ensefaliitis
neuropati perifer dan mielopati. Gejala-gejala dermatologi yaitu ruam
makropapulereritematosa dan ulkus makokutan
f.
Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit HIV dapat diturunkan oleh orang tua
ataupun ditularkan oleh suami penderita.
g.
Pola fungsional kesehatan
a)
Pola nutrisi
Pada pasien HIV pola makan harus dijaga untuk
menghindari terjadinya infeksi oportinistik. Wanita dewasa memerlukan 2.500
kalori/hari, jumlah tambahan kalori yang dibutuhkan pada ibu hamil adalah 300
kalori/hari dengan komposisi menu seimbang. Pada pasien HIV yang mengalami
ulserasi mukosa oral terjadi gangguan pemenuhan nutrisi karena
ketidaknyamanan/sakit saat makan
b)
Pola eliminasi
BAK dalam batas normal
BAB teratus setiap hari 1x
Pada stadium HIV lanjut (stadium III dan IV ) ibu
dapat mengalami diare akut
c)
Pola istirahat
Pada stadium lanjut HIV ibu membutuhkan istirahat
selalu berada di tempat tidur >50%/hari dalam bulan terakhir
d)
Pola aktivitas
Stadium 1 : penampilan atau aktivitas fisik skala 1
: asimtomatis, aktivitas normal.
Stadium 2 : dengan atau penampilan aktivitas fisik
skala 2 : simtomatis, aktivitas normal
Stadium 3 : dengan atau penampilan/ aktivitas fisik
skala 3 : lemah, berada di tempat tidur <50%/hari dalam bulan terakhir.
Stadium 4 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik
skala 4 : sangat lemah, selalu berada di tempat tidur >50%/hari dalam bulan
terakhir .
e.
Aktivitas seksual
Seberapa sering aktivitas sex yang dilakukan ibu
dari suami sebelum dan selama kehamilan. Mungkin ditemukan adanya penurunan
aktivitas seksual utamanya pada mereka yang sudah dikarenakan kondom dapat
mencegah penularan HIV.
f.
Pola kebiasaan
Merokok
Minum alcohol
Mengkonsumsi narkoba : pemakaian narkoba dengan
suntik atau obat-obatan terlarang lainnya dapat meningkatkan resiko terkena HIV
/ AIDS
Minum jamu-jamuan
Memelihara binatang peliharaan : (rantai penularan
toxoplasmosis yang dapat memperburuk HIV / AIDS dalam perkebangan janin)
g.
Riwayat psikososial budaya
Perkawinan ibu dengan HIV seringkali ditemui dengan
ibu atau suami menikah lebih dari sekali. Perencanaan kehamilan akan
berpengaruh pada penerimaan ibu dan keluarga terhadap kehamilan ini dan bayinya
nantinya, ibu merasa gelisah dn gemas apabila keluhan yang dirasakan oleh ibu
akan mengganggu kehamilannya.
h.
Data objektif
1.
Pemeriksaan fisik umum
a)
TD : ibu hamil dengan HIV tidak
ada perbedaan tekanan darah dengan ibu hamil normal
Normal antara 100/60 – 140/90 mmHg
b)
Suhu : suhu pada ibu hamil dengan
HIV pada fase akut dan fase laten akan mengalami demam .
Normal antara 36,5oC – 37,5oC
c)
Nadi : ibu hamil dengan HIV tidak
ada perbedaan jumlah nadi dengan ibu hamil normal.
Nadi normal antara 80 – 100 x/menit
d)
RR : pada ibu dengan HIV tidak
ada peningkatan jumlah pernapasan.
Normal 16-20 x/menit
e)
Berat badan sebelum hamil :
Penumbangan berat badan harus terus dipantau. Pada
penderita HIV pada fase infeksi laten mengalami penurunan berat badan 10%
f)
Berat badan sekarang
Mulai stadium II ibu mengalami penurunan BB tetapi
<10 Kg, sedangkan pada stadium III dan IV penurunan berat badan >10 Kg
i.
Pemeriksaan Fisik
a)
Mulut :
Mukosa
bibir kering, caries gigi. Pada pasien HIV stadium klinis 2 terjadi ulserasi
mukosa berulang. Pada stadium klinis 3 terdapat kandidiasis oris (pada rongga
mulut terdapat pseudomembran yang berwarna putih krem sampai keabu-abuan.
Periksa adanya leukoplakia (plak putih di sekitar rongga mulut) (Nasronudin,
2007).
b)
Dada :
Ada
tarikan dinding dada. Ada ronchi dan wheezing sebagai indikasi kelainan organ
pernafasan ( apabila sudah terjadi TB pulmonar dan PCP (Pneumocystis Carinii
Pneumonia) manifestasi dari HIV/AIDS.
Pada pasien HIV mulai stadium 1 terdapat limpadenopati (pembengkakan kelenjar limfe) (Nasronudin, 2007)
Pada pasien HIV mulai stadium 1 terdapat limpadenopati (pembengkakan kelenjar limfe) (Nasronudin, 2007)
c)
Abdomen :
Ada
luka bekas SC apabila ibu persalinan yang lalu mengidap HIV mencegah penularan
ibu ke bayi.
Pembesaran uterus terkadang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Hal tersebut dikarenakan adanya infeksi HIV menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.
Pembesaran uterus terkadang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Hal tersebut dikarenakan adanya infeksi HIV menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.
d)
Ekstrimitas :
Atas
: tidak ada edema
Bawah : tidak ada varises
Pada stadium II terlihat luka infeksi/ ulkus pada kuku.
Bawah : tidak ada varises
Pada stadium II terlihat luka infeksi/ ulkus pada kuku.
e)
Kulit :
Kadang
ditemukan tanda-tanda dermatitis, herpes zoster, prurigo, dan kelainan kulit
lainnya akibat infeksi jamur.
f) Genetalia :
Vulva
dan vagina
Keluaran : Pada wanita hamil sering mengeluarkan cairan pervaginam lebih banyak. Keadaan ini dalam batas normal (tidak berwarna, tidak berbau, tidak gatal). Pada ibu hamil dengan HIV memungkinkan adanya infeksi candida yang menyebabkan flour albus (Nasronudin, 2007).
Keluaran : Pada wanita hamil sering mengeluarkan cairan pervaginam lebih banyak. Keadaan ini dalam batas normal (tidak berwarna, tidak berbau, tidak gatal). Pada ibu hamil dengan HIV memungkinkan adanya infeksi candida yang menyebabkan flour albus (Nasronudin, 2007).
j.
Pemeriksaan
Penunjang
a) Pemeriksaan lab
1. Pemeriksaan HIV
Saat
ini ada 2 standar untuk melakukan uji HIV yaitu dengan enzyme-linked
immuosorbent assay (ELISA) dan western blot
Apabila
setelah melakukan uji ELISA hasilnya positif maka penderita harus melakukan uji
ELISA lagi, sebelum melakukan western Blod untuk mengonfirmasi status HIV
positif, ELISA awal dapat bereaksi silang untuk memberi hasil positif palsu
jika digunakan tanpa uji konfirmasi,Western Blod akan dibaca positif bila ada
antibody dua atau lebih “pita: protein ditemukan dalam HIV. Adanya pita tunggal
tidak dapat meyakinkan dan mungkin hasil dari pejanan HIV atau sebuah temuan
kronis. Diantara penyebab hasil menetap yang tidak dapat disimpulkan ini adalah
sebuah autoimun atau penyakit vascular kolagen, aloantibodi dari kehamilan atau
tranfusi dan infeksi HIV subtype jarang HIV 2. Hasil positif palsu pada ELISA
dan Western Blod kurang dari 0,0001 persen dalam area prevalensi yang rendah.
Selain
2 uji standar tersebut ada banyak uji lain yang digunakan untuk mengevaluasi
kesehatan dan perkembangan penyakit. Beberapa diantaranya penting bagi perawat
untuk mengenalinya dalam rangka meningkatkan status kesehatan wanita. Penguji
ini termasuk pengukuran CD4, limfosit muatan virus plasma perubahan dalam
hitung sel darah lengkap dan panel kimia.
Karena
pada saat hamil diharapkan varial load serendah-rendahnya. Selain itu perlu
untuk dilakukan USG untuk melihat pertumbuhan janin pada pasien HIV / AIDS
janin dapat IUGR atau bahkan IUFD)
2. Diagnosa, Rencana Keperawatan
1.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi,
malnutrisi dan pola hidup yang beresiko
Kriteria
hasil :
a)
Tidak ada luka atau eksudat
b)
Tanda vital dalam batas normal.
c)
Pemeriksaan leukosit normal
Intervensi
:
Mandiri
1.
Monitor tanda-tanda infeksi baru
Rasional :
Untuk pengobatan dini
2. Gunakan teknik aseptic pada setiap
tindakan invasive. Cuci tangan sebelum memberikan tindakan
Rasional:
Mencegah klien terpapar oleh kuman
pathogen yang diperoleh di rumah sakit
3.
Anjurkan pasien metode pencegahan terpapar terhadap
lingkungan yang pathogen
Rasional :
Mencegah bertambahnya infeksi
Kolaborasi
4. Kumpulkan specimen untuk tes lab
sesuai intruksi dokter
Rasional :
Meyakinkan diagnosis akurat dan
pengobatan
5. Atur pemberian antiinfeksi sesuai
intruksi dokter
Rasional :
Mempertahankan kadar darah yang
terapeutik
2. Resiko tinggi infeksi (kontak
pasien) berhubungan dengan infeksi HIV
Kriteria
hasil :
a) Kontak pasien dan TIM kesehatan tidak
terpapar HIV
b) Tidak terinfeksi pathogen lain
seperti TBC
Intervensi
Mandiri
1. Anjurkan klien atau keluarga lainnya
metode mencegah tranmisi HIV dan kuman patogen lainnya
Rasional
:
Klien
dan keluarga mau dan memerlukan informasi ini
2.
Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bila merawat
klien. Gunakan masker bila perlu
Rasional :
Mencegah
transimisi infeksi HIV ke orang lain
3. Resiko tinggi volume cairan
berhubungan dengan output cairan yang berlebih sekunder terhadap diare
Kriteria
hasil
a) Perut tidak kembung
b) Tidak tegang
c) Fese lunak, warna normal
d) Kram perut hilang
Intervensi
Mandiri
1. Kaji konsistensi dan frekuensi feses
dan adanya darah
Rasional
:
Mendeteksi
adanya darah dalam feses
2. Auskultasi bunyi bising usus\
Rasional
:
Hipermotiliti
umumnya dengan diare
Kolaborasi
3. Atur agen antimortilitas dan psilium
(Metamucil) sesuai anjuran dokter
Rasional
:
Mengurangi
mortilitas usus, yang pelan, mmperburuk perforasi pada intestinal
4. Berikan ointment A dan D, vaselin
atau zinc oside
Rasional
:
Untuk
menghilangkan detensi
3.
Implementasi
Di
dasarkan pada diagnose yang muncul baik secara actual, resiko atau potensial.
Kemudian dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai berdasarkan intervensi
4.
Evaluasi
Disimpulkan
berdasarkan pada sejauh mana keberhasilan mencapai kriteria hasil, sehingga
dapat diputuskan apakah intervensi tetap dilanjutkan, dihentikan atau diganti
jika tindakan yang sebelumnya tidak berhasil.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
HIV (
Human immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang system
kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat
menyebabkan AIDS. Penyebab infeksi adalah golongan virus retro yang disebut
human immunodeficiency virus (HIV). Cara penularan HIV melakukan penetrasi
seks, melalui darah yang terinfeksi, dengan mengunakan bersama jarum untuk
menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi, wanita hamil.
Penularan secara perinatal terjadi terutama pada saat proses melahirkan, karena
pada saat itu terjadi kontak secara lansung antara darah ibu dengan bayi
sehingga virus dari ibu dapat menular pada bayi.
Kehamilan
merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester
pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah,
nafsu makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung
memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi
HIV-AIDS.
HIV/AIDS
adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak penelitian
melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan
untuk memastikan bahwa keluarga akan merasa baik.
B.
Saran
1. Mahasiswa
Mahasiswi
Mahasiswa
dan mahasiswi dapat mengerti tentang asuhan keperawatan dengan gangguan sistem reproduksi infertility HIV /AIDS
2. Institusi
Institusi
dapat memfasilitasi dengan fasilitas yang memadai sehingga dapat mendukung
tercapainya makalah yang baik dan benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Bari Saifuddin, Abdul. 2009. Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Materal dan Neonatal. Jakarta : PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis
Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana
Asuhan Keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien. Ed. 3. Jakarta : EGC
Nanda, NIC-NOC. 2015 Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis. Mediaction
Nursalam dan dwi, Ninuk. 2008. Asuhan
keperawatan pada pasien terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba medika.
Susanti NN. 2000. Psikologi Kehamilan.
Jakarta: EGC.
0 komentar:
Posting Komentar